Sejarah Lampung Barat
Kabupaten Lampung Barat adalah salah satu kabupaten di provinsi Lampung, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Liwa. Kabupaten ini
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1991 tanggal 16 Agustus 1991 yang
merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten
Lampung Utara. Saat ini Bupati Kabupaten Lampung Barat adalah
Drs. Hi. Mukhlis Basri dan Wakilnya Drs. Hi. Dimyati Amin. Kabupaten ini dominan dengan
perbukitan dengan pantai di sepanjang pesisir barat Lampung. Daerah pegunungan
yang merupakan punggung Bukit Barisan, ditempati oleh vulkanik quarter dari
beberapa formasi. Daerah ini berada pada ketinggian 50 - > 1000 mdpl. Daerah
ini dilalui oleh sesar Semangka, dengan lebar zona sebesar ± 20 Km. Pada
beberapa tempat dijumpai beberapa aktifitas vulkanik dan pemunculan panas bumi.
Dengan
luas wilayah lebih kurang 4.950,40 km2 atau 13,99 % dari luas wilayah
Propinsi Lampung dan mempunyai garis pantai sepanjang 260 km Lampung Barat
terletak pada koordinat 4o,47',16" - 5o,56',42"
lintang selatan dan 103o,35',08" - 104o,33',51"
Bujur Timur.
Wilayah
Lampung Barat berbatasan dengan :
§ Sebelah Utara : Propinsi Bengkulu,
§ Sebelah Selatan : Samudera Hindia dan Selat
Sunda,
§ Sebelah Barat : Samudera Hindia,
§ Sebelah Timur : Kab.Lampung Utara,
Kab.Lampung Tengah, dan Kab. Tanggamus.
Sumber
: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lampung_Barat
Skala Beghak, Asal Muasal
Sekala
Beghak (biasa ditulis Skala Brak), adalah kawasan yang sampai kini dapat
disaksikan warisan peradabannya. Kawasan ini boleh dibilang kawasan yang “sudah
hidup” sejak masa pra-sejarah. Batu-batu menhir mensitus dan tersebar di
sejumlah titik di Lampung Barat. Bukti, ada tanda kehidupan menyejarah.
Sebuah batu prasasti di Bunuk Tenuar, Liwa berangka tahun 966 Saka atau tahun
1074 Masehi, menunjukkan ada jejak Hindu di kawasan tersebut. Bahkan di tengah
rimba ditemukan bekas parit dan jalan Zaman Hindu. Ada lagi disebut-sebut bahwa
Kenali yang dikenal sekarang sebagai ibukota Kecamatan Belunguh, adalah bekas
kerajaan bernama “Kendali” dengan “Raja Sapalananlinda” sebagaimana disebut
dalam “Kitab Tiongkok Kuno”. Kata “Sapalananlinda” oleh L.C. Westenenk ditafsir
sebagai berasal dari kata “Sribaginda” dalam pengucapan dan telinga orang Cina.
Jadi bukan nama orang tapi gelar penyebutan. Buku itu konon juga menyebut,
bahwa Kendali itu berada di antara Jawa dan Siam-Kamboja. Kitab itu, menyebut
angka tahun antara 454 – 464 Masehi. Kitab ini telah disalin ke dalam bahasa
Inggris oleh Groenevelt (Wikipedia Indonesi, 2007).
Meski
belum seluruhnya terbaca, namun dapat disimpulkan: di situ tercatat suatu
peradaban panjang. Suatu kawasan tua yang mencatatkan diri dalam sejarah umat
manusia. Di wilayah ini pula pernah berdiri sebuah kerajaan. Ada yang menyebut
kerajaan tersebut adalah Kerajaan Tulang Bawang, namun bukti-bukti
keberadaannya sulit ditemukan. Sedang keyakinan yang terus hidup dan
dipertahankan masyarakat khususnya di Lampung Barat serta keturunan mereka yang
tersebar hingga seluruh wilayah Sumatera Selatan, menyebutkan Kerajaan Skala
Beghak. Pendapat ini juga disokong oleh keberadaan para raja yang bergelar Sai
Batin, hingga bukti-bukti bangunan dan alat-alat kebesaran kerajaan, upacara
dan seni tradisi yang masih terjaga. Masih banyak bukti lain, namun perlu
pembahasan terpisah.
Kalau membaca peta Propinsi Lampung sekarang, kisaran lokasi pusat Sekala
Beghak berada di hampir seluruh wilayah Kabupaten Lampung Barat, sebagian
Kecamatan Banding Agung Kabupaten Ogan Komering Ulu, Propinsi Sumatera Selatan.
“Pusat kerajaan” meliputi daerah pegunungan di lereng Gunung Pesagi di daerah
Liwa, seputar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau dan Kecamatan
Balik Bukit.
Sebagai
kesatuan politik Kerajaan Sekala Beghak telah berakhir. Tetapi, sebagai
kesatuan budaya (cultural based) keber¬adaannya turun temurun tewarisi melalui
sejarah panjang yang menggurat kuat dan terbaca makna-maknanya hingga saat ini.
Sekala Beghak dalam gelaran peta Tanah Lampung, pastilah tertoreh warna tegas,
termasuk sebaran pengaruh kebudayaannya sampai saat ini.
Tata
kehidupan berbasis adat tradisi Sekala Beghak juga masih dipertahankan dan
dikembangkan. Terutama, Sekala Beghak setelah dalam pengaruh “Empat Umpu”
penyebar agama Islam dan lahirnya masyarakat adat Sai Batin. Adat dan tradisi
terus diacu dalam tata hidup keseharian masyarakat pendukungnya dan dapat
menjadi salah satu sumber inspirasi dan motivasi pengembangan nilai budaya
bangsa.
Hasil
pembacaan atas segala yang ada dalam masyarakat berkebudayaan Sai Batin di
Lampung, memperlihatkan kedudukan dan posisi penting Sekala Beghak sebagai
satuan peradaban yang lengkap dan terwariskan. Keberadaan Sekala Beghak tampak
sangat benderang dalam peta kebudayaan Sai Batin, sebagai satu tiang sangga
utama pembangun masyarakat Lampung. Bahkan, telah diakui, Sekala Beghak sebagai
cikal bakal atau asal muasal tertua leluhur “orang Lampung”. Bahkan keberadaan
Skala Beghak, berada dalam kisaran waktu strategis perubahan peradaban besar di
Nusantara, dari Hindu ke Islam.
Bukti
kemashuran Sekala Beghak dirunut melalui penuturan lisan turun-temurun dalam
wewarah, tambo, dan dalung yang mempertegas keberadaan Lampung dalam peta
peradaban dan kebudayaan Nusantara. Kata Lampung itu sendiri banyak yang
menyebut berasal dari kata “anjak lampung” atau “yang berasal dari ketinggian”.
Pernyataan itu menunjukkan bahwa “orang Lampung” berasal dari lereng gunung
(tempat yang tinggi), yang dalam hal ini Gunung Pesagi. Pendapat yang sama juga
ditemukan dalam kronik perjalanan I Tsing. Disebutkan kisah pengelana dari
Tiongkok, I Tsing (635-713). Seorang bhiksu yang berkelana dari Tiongkok (masa
Dinasti Tang) ke India, dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi
Ming dan beberapa waktu pernah tingal di Chang’an. Ia menerjemahkan kitab agama
Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina. Dalam perjalanannya itu, kronik
menulis I Tsing singgah di Sriwijaya pada tahun 671. Ia mengunjungi pusat-pusat
studi agama Budha di Sumatera, di antaranya selama dua bulan di Jambi dan
setelah itu konon tinggal selama 10 tahun di Sriwijaya (685-695). Dalam
perjalanannya itu, I Tsing dikabarkan menyebut nama suatu tempat dengan “To
Lang Pohwang”. Kata “To Lang Pohwang” merupakan bahasa Hokian, bahasa yang
digunakan I Tsing.
Ada yang menerjemahkan “To Lang Pohwang” sebagai Tulang Bawang. Salah satunya
adalah Prof. Hilman Hadikusuma, ahli hukum adat dan budayawan Lampung tersebut
memberi uraian perihal sejarah Lampung, khususnya dalam menafsir To Lang
Pohwang sebagai Kerajaan Tulang Bawang. Disebut-sebut berada di sekitar
Menggala, ibukota Kabupaten Tulang Bawang saat ini. Meski bekas-bekas atau
artefaknya belum terlacak, garis silsilah raja dan istana, komunitas masyarakat
pewaris tradisi, dan banyak hal lagi yang masih tidak bisa ditemukan. Tidak
hanya dari sudut pandang semantis untuk memaknai kata “To Lang Pohwang”, namun
perlu pula didampingi kajian sosiologis dan arkeologis yang lebih mendalam.
Kata “To Lang Pohwang” berasal dari bahasa Hokian yang bermakna ‘orang atas’.
Orang atas banyak diartikan, orang-orang yang berada atau tinggal di atas
(lereng pegunungan, tempat yang tinggi). Dengan demikian penyebutan I Tsing “To
Lang Pohwang” memiliki kesamaan makna dengan kata “anjak lampung”, sama-sama
berarti orang yang berada atau tinggal di atas. Sedang atas yang dimaksud
adalah Gunung Pesagi.
Merujuk pada dua pendapat itu, maka penunjukan “orang atas” mengarah pada Suku
Tumi yang tinggal di lereng Gunung Pesagi di Lampung Barat. Mereka inilah
cikal-bakal Kerajaan Sekala Beghak. Kerajaan ini di kemudian hari ditundukkan
oleh para penakluk, mujahid dan pendakwah Islam yang masuk ke Sekala Beghak
dari Samudera Pasai melalui Pagaruyung Sumatera Barat. Di bawah Ratu Mumelar Paksi
bersama putranya Ratu Ngegalang Paksi, disertai juga para Umpu, empat cucu Ratu
Mumelar Paski. Mereka masuk untuk kemudian menguasai kawasan tersebut setelah
menundukkan Suku Tumi. Para Umpu, keempat putra Ratu Ngegalang Paksi itulah
yang kemudian melahirkan Paksi Pak Sekala Beghak dengan segala kebudayaannya,
berkembang dan beranak pinak untuk kemudian menyebar ke seluruh Lampung dan
sejumlah daerah. Karena kerajaan Sekala Beghak lama (animisme/dinamisme) telah
dikalahkan dan dikuasai sepenuhnya oleh keempat Umpu keturunan Ratu Ngegalang
Paksi, maka kemudian adat-istiadat dan kebudayaan yang berkembang dan
dipertahankan hingga kini merupakan peninggalan Kerajaan Sekala Beghak Islam.
Dalam tambo-tambo dan wewarah, “Empat Umpu” (Umpu Bejalan Diway; Umpu Belunguh;
Umpu Nyekhupa, dan Umpu Pernong) banyak disebut memiliki peran sentral dalam
membangun masyarakat adat Sai Batin, Paksi Pak Sekala Beghak. Pada periode
selanjutnya, penyebaran orang-orang Sekala Beghak ini dapat dirunut dari
kisah-kisah tentang kepergian mereka melalui sungai-sungai. Bahkan, sebagian
orang-orang Komering pun mengaku sebagai keturunan Sekala Beghak. Mereka
diperkirakan keturunan Pasukan Margasana yang dikirim Kerajaan Sekala Beghak ke
Komering untuk menghadang serangan sisa-sia prajurit Kerajaan Sriwijaya yang
telah runtuh sebelumnya. Seperti halnya keberadaan Suku Ranau sekarang, diakui
juga berasal dari Sekala Beghak, Lampung Barat. Di sekitar Danau Ranau di
Banding Agung, Ogan Komering Ulu itu semula dihuni Suku Abung yang setelah
kedatangan orang-orang Sekala Beghak pada abad ke-15 mereka pindah ke Lampung
Tengah.
Seperti
dikutip Harian KOMPAS, (11 Desember 2006:36), pada abad 15 datang empat
kelompok masyarakat yang menduduki sekitar Danau Ranau. Di sebelah barat danau
dihuni orang-orang yang datang dari Pagaruyung Sumatera Barat dipimpin Dipati
Alam Padang. Sementara itu, tiga kelompok lainnya berasal dari Sekala Beghak.
Tiga kelompok orang-orang Sekala Beghak itu dipimpin Raja Singa Jukhu (dari
Kepaksian Bejalan Diway), menempati sisi timur danau. Di sisi timur danau pula,
kelompok yang dipimpin Pangeran Liang Batu dan Pahlawan Sawangan (berasal dari
Kepaksian Nyekhupa) menempat. Sementara kelompok yang dipimpin Umpu Sijadi
Helau menempati sisi utara danau. Empu Sijadi Helau yang disebut-sebut itu
bukan Umpu Jadi putra Ratu Buay Pernong, yang menjadi pewaris tahta Buay
Pernong. Kemungkinan besar Umpu Sijadi di daerah Ranau tersebut adalah
keturunan Kepaksian Pernong yang meninggalkan Kepaksian dan mendirikan negeri
baru di Tenumbang kemudian menjadi Marga Tenumbang.
Ketiga kelompok dari Sekala Beghak ini kemudian berbaur dan menempati kawasan
Banding Agung, Pematang Ribu, dan Warkuk. Sampai sekarang banyak orang Banding
Agung mengaku keturunan Paksi Pak Sekala Beghak. Di samping itu, ada
kisah-kisah perpindahan orang Sekala Beghak, sebagaimana ditulis dalam
Wikipedia (7/3/07: 04.02), yang dipimpin Pangeran Tongkok Podang, Puyan Rakian,
Puyang Nayan Sakti, Puyang Naga Berisang, Ratu Pikulun Siba, Adipati Raja
Ngandum dan sebagainya. Bahkan, daerah Cikoneng di Banten ada daerah yang
diberikan kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kepaksian Belunguh atas
jasa-jasanya, dan banyak orang Sekala Beghak yang migrasi ke sana atau
sebaliknya.
Kisah-kisah ini memperkuat suatu kenyataan bahwa Sekala Beghak tidak hanya
sebagai sumber muasal secara geografis, melainkan juga sumber kultur
masyarakat. Sekala Beghak adalah hulu suatu kebudayaan masyarakat. Dari Sekala
Beghak ini juga lahir huruf Lampung yaitu Kaganga. Bagi sebuah kebudayaan,
memiliki bahasa dan aksara sendiri merupakan bukti kebesaran masa lalu
kebudayaan tersebut. Di Indonesia hanya sedikit kebudayaan yang memiliki aksara
sendiri, yaitu Batak, Lampung (Sumatera Selatan), Jawa, Sunda, Bali, dan Bugis.
Dan kebudayaan yang memiliki aksara sendiri dapat dikategorikan sebagai
kebudayaan unggul. Karena bahasa merupakan alat komunikasi sekaligus simbol
kemajuan peradaban.
Semua
aksara Nusantara tersebut berasal dari bahasa Palava, yang berinduk pada bahasa
Brahmi di India. Bahasa Palava digunakan di India dan Asia Tenggara. Di
Nusantara bahasa ini mengalami penyebaran dan pengembangan, bermula dari bahasa
Kawi, sebagai induk bahasa Nusantara. Dari bahasa Kawi menjadi bahasa : Jawa
(Hanacaraka), Bali, Surat Batak, Lampung/Sumatera Selatan (Kaganga), dan Bugis.
Dari Kerajaan Sekala Beghak yang telah memiliki unsur-unsur “kebudayaan
lengkap” ini pulalah “ideologi” Sai Batin dilahirkan dan disebarluaskan. Sampai
saat ini, masih banyak yang bisa dibaca dari jejak-jejak yang tertinggal. Baik
dari jejak fisik maupun jejak yang tidak kasat mata. Dari legenda, seni budaya,
adat tata cara, bahasa lisan tulisan, artefak benda peninggalan, hingga
falsafah hidup masih ada runut rujukannya. Dari Sekala Beghak itu di kemudian
hari pengaruh budaya dan peradabannya berkembang dan berpengaruh luas ke
seluruh Lampung bahkan sampai ke Komering di Sumatera Selatan sekarang. Tidak
terhitung kemudian “pendukung budaya”-nya yang tersebar di seluruh Indonesia
pada masa kini.
sumber
:http://paksipernong.com